Sistem Peradilan di Indonesia Sedang Tak Baik-Baik Saja, KY Minta Hakim dan Jaksa Jaga Integritas
KY sendiri sebelumnya menerima laporan atas dugaan tiga orang hakim dari Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Linggau karena dianggap tidak mengindahkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1/1956 soal kasus perkara pidana tidak dapat diputus sebelum kasus perdatanya diselesaikan.
Terbaru, PN Lubuk Linggau kembali mendapat sorotan karena dalam sidang eksepsi terhadap terdakwa atas nama Bagio Wilujeng dan Djoko Purnomo dianggap tidak mengindahkan kaidah yang terdapat pada pasal 84 ayat 1 KUHAP.
“Tempat Kejadian Perkara (TKP) pada surat pelimpahan perkara hanya menyebutkan Serayu dan Palembang yang menjadi ‘locus delicti’. Sementara itu, jika ditinjau dari pasal 84 ayat 2, keberadaan saksi dan terdakwa tidak dapat berdiri sendiri untuk menjadi kewenangan pengadilan,” kata Satria Nararya, pengacara Bagio dan Djoko.
Dia membeberkan pada tahap penyelidikan ataupun penyidikan itu di dalam surat panggilan terhadap Bagio dan Joko dugaan tindak pidana diduga dilakukan di Kota Palembang dan Kabupaten Musi Banyuasin itu yang pertama.
Namun, anehnya penyidik dan jaksa penuntut umum melakukan pelimpahan ke Pengadilan Negeri Lubuk Linggau.
“Tidak ada pengecualian sebagaimana diatur dalam KUHAP bahwa domisili dari masing-masing terdakwa baik Pak Bagio dan Pak Joko yang di wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri Lubuk Linggau. Tempat terdakwa diketemukan itu pun juga tidak di Lubuk Linggau karena Bapak Bagio ditemukan itu pada saat pemeriksaan sebagai tersangka di Bareskrim yaitu di Jakarta Selatan," kata Satria lagi.
Terpisah, mantan Ketua Komisi Kejaksaan Indonesia, Dr Barita Simanjuntak turut merespons polemik ini.
Menurutnya, keberatan soal kompetensi pelimpahan pengadilan itu memang dimungkinkan.