Siti Manggopoh, Kepala Pemberontak dari Ranah Minang
Pukul setengah sembilan malam, tiga orang mendekati benteng sebagai pedagang buah manggis. Sejurus kemudian seorang kurir diutus untuk memastikan. Jam 10 malam benteng dikepung rapat. Tak seanginpun tercium belanda.
Jelang pukul 00.00, Ali masuk markas Belanda. Dia berhasil memadamkan semua lampu, kecuali lampu kamar letnan.
"Saat masuk kamar letnan, Ali dicekek sang letnan sampai matanya mendelik," kenang Mande Siti--begitu perempuan bagak ini dipanggil ketika sudah tua--sebagaimana dikisahkan Abel Tasman, Nita Indrawati, Sastri Yunizarti Bakry dalam buku Siti Manggopoh.
Siti bergerak. Dihantamnya bahu letnan pakai ruduih (parang). Letnan balik menyerang. Dalam sebuah gerakan, rambut Siti yang panjang berhasil dijambak letnan dan dikalungkan ke batang lehernya.
Siti menyambar lampu kamar letnan dengan senjatanya. Padam. Dan sejurus kemudian, letnan berteriak. Ruduih Siti bersarang di perut letnan.
Pembantaian dimulai. Rombongan 17 terlatih bergerak dalam gelap. Satu persatu serdadu Belanda tewas disembelih.
Sebanyak 54 dari 55 serdadu Belanda yang bermarkas di Manggopoh terbunuh. Seorang yang berhasil melarikan diri melapor ke Bukittinggi. Tak berselang lama, Belanda pun melakukan pembalasan.
"Pemberontakan bisa dipadamkan oleh Belanda. Tapi semangat perlawanan hidup terus bagaikan api dalam sekam," tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia jilid 3.