Soesilo Toer, Doktor Ekonomi Politik jadi Pemulung Sampah
”Beberapa hari lalu ada orang meninggal. Saya sudah tunggu sampahnya. Ternyata malam ini baru dibuang,” ujarnya ketika berhenti. Ada keranjang sampah di depan rumah warga kelihatan penuh. Bungkusan-bungkusan tas plastik hitam berserakan.
”Wah dapat kardus,” pekiknya. Mata lelaki itu berbinar. Tertuju pada kardus bekas yang bersandar di pagar dekat keranjang sampah. Dia pungut kardus itu, lantas memeluknya erat-erat. Baginya kardus bekas pembungkus kulkas itu adalah rezeki nomplok.
Kardus itu dia masukkan ke dalam keranjang di motornya. Mula-mula, dia meletakkan kardus itu di keranjang kanan. Ternyata terlalu tinggi. Lantas dia meletakkan di bagian tengah.
Namun tidak jadi. Takut terjatuh. Bebebapa saat kemudian, dia melipat kardusnya. ”Begini saja,” katanya setelah memastikan kardus itu tidak akan jatuh.
Soesilo bukan pemulung sembarangan. Selain adik Pramoedya Ananta Toer yang sastrawan, dia adalah doktor ilmu ekonomi politik. Lulusan Rusia (ketika masih bergabung dengan Uni Soviet) lagi. Dia juga penulis. Bukunya yang telah terbit sekitar 20. Masih ada belasan yang antre dicetak.
Sampai sekarang penjualan buku-bukunya masih berjalan. Sesekali dia juga diundang untuk berceramah di kampus. Tetapi dia senang memungut sampah. Untuk menutup kebutuhan hidup sehari-hari.
Penghasilannya itu tentu tidak pasti. ”Semalam kadang-kadang bisa mendapat Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu,” katanya.
Sungguh penghasilannya sebagai pemulung amat kecil dibanding gelarnya. ”Tapi apa saya makan gelar? Untuk hidup sehari-hari apa harus makan ijazah?” ujarnya berkali-kali. Bagi dia, bisa menjadikan barang yang tidak bermanfaat menjadi bermanfaat itu luar biasa.