Soesilo Toer, Doktor Ekonomi Politik jadi Pemulung Sampah
”Hidup itu romantika. Ada yang curiga, memaki, atau mencaci. Ada yang suka. Ada pula yang kasihan. Ya, begitulah romantika kehidupan,” kata bapak satu anak itu.
Dia sudah mengalami berbagai pahitnya hidup. Bahkan, dianggap anggota PKI seperti kakaknya. Dia sudah mengalami kecewanya menjadi tahanan politik.
Di balik itu semua, dia juga pernah merasakan disanjung sebagai narasumber di kampus-kampus. Baginya, romantika kehidupan ya memang begitu. Kadang senang, sedih, bahagia, bangga, kecewa, juga marah.
Ketika keranjang sampahnya sudah penuh lagi, Soes pamit pulang lagi. Wartawan disuruh menunggu. Tak sampai setengah jam, dia sudah balik. Pada babak ketiga itu, Soes mengajak ke sekitar Jalan Pemuda hingga Jalan Gunung Lawu. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 22.15.
Di malam yang semakin larut itu, sebagian besar toko sudah tutup. Bahkan warung, kafe, dan restoran sudah berkemas-kemas. Soes tetap saja melanjutkan pekerjaannya. Justru pada saat itulah banyak pelayan restoran, kafe, dan warung membuang sampah. Sehingga putaran ketiga itu tak membutuhkan waktu lama untuk mengisi keranjangnya.
Akhirnya dia mengakhiri pekerjaannya malam itu sekitar pukul 22.45. Semua hasil jerih payahnya ditumpuk di halaman rumah. Motornya Surya Garuda yang digunakannya sejak 2006 itu, digeletakkan begitu saja di teras rumah yang jauh dari bersih untuk ukuran orang awam.
Istrinya Suratiyem sudah tidur. Demikian juga anaknya. Soes baru benar-benar beristirahat ketika malam sudah beranjak dini hari.
Bagi Soes, memulung sampah bukanlah pekerjaan hina. Dia justru bangga dan menikmatinya. Sama bangganya dengan ketika dia meraih gelar sarjana ekonomi, master, dan doktor ekonomi politik. Sama bangganya juga ketika dia diundang untuk berceramah di kampus-kampus.