Sritex Cuma Salah Satu Korban Badai Besar di Industri Garmen
Namun, dalam praktiknya, aturan ini membuka keran impor yang terlalu lebar, terutama bagi tekstil murah dari China.
"Dengan akses mudah bagi produk impor yang berharga lebih rendah, produk lokal sulit bersaing," ucap Nur Hidayat.
Nur Hidayat mengungkapkan biaya produksi di Indonesia yang lebih tinggi membuat produsen tekstil dalam negeri tertekan, sementara produk impor yang lebih murah membanjiri pasar.
Seiring dengan berjalannya waktu, makin banyak perusahaan tekstil dalam negeri yang berjatuhan karena kesulitan menekan harga hingga level yang kompetitif dengan produk asing.
Pemerintah perlu mengevaluasi ulang kebijakan ini, terutama bagian-bagian yang membuat produk impor lebih mudah masuk tanpa batasan kuota atau persyaratan khusus.
Jika ini dibiarkan, produsen tekstil lokal yang kesulitan bersaing akan terus bertumbangan. Tidak hanya Sritex yang mengalami kesulitan; banyak produsen lain dari skala kecil hingga menengah juga merasakan dampak yang sama.
"Dalam jangka panjang, ketergantungan pada produk impor akan mengancam keberlangsungan industri tekstil nasional, yang seharusnya bisa menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia," ungkap Nur Hidayat.
Dia menegaskan pandangan Permendag 8 "membunuh" industri tekstil memang cukup beralasan. Produk tekstil impor yang terus berdatangan telah menekan harga di pasar lokal, dan perusahaan dalam negeri dipaksa menurunkan harga agar bisa bersaing.