Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Tantangan Bagi Advokat Baru

Oleh: Elias Sumardi Dabur

Rabu, 19 Februari 2020 – 02:50 WIB
Tantangan Bagi Advokat Baru - JPNN.COM
Elias Sumardi Dabur. Foto: Dokpri

Sulit dibantah bahwa medan yang dihadapi para advokat baru saat ini adalah citra advokat yang terpuruk. Ulah beberapa advokat yang menghalalkan segala cara dalam membela klien mereka membuat wibawa profesi ini hancur. Sebagian dari mereka terlibat dalam mafia hukum, dari merekayasa kasus hingga menyogok hakim.

Sebagai refleksi, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah merilis 22 orang advokat yang pernah terlibat dalam perkara korupsi terhitung mulai 2005-2018. Dari jumlah itu, ada 16 advokat terjaring kasus penyuapan, pemberian keterangan tidak benar 2 orang dan menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi melibatkan 4 advokat. Kasus yang melibatkan 22 advokat tersebut mayoritas ditangani KPK. Jumlahnya 16 orang. Selebihnya ditangani Kejaksaan yakni 5 orang dan kepolisian 1 orang. Akibatnya, para advokat dianggap turut bertanggung jawab terhadap bobroknya lembaga peradilan.

Citra buruk ini hendaknya menjadi tantangan bagi para advokat untuk berjuang bersama-sama melakukan restorasi citra advokat agar kembali kepada keluhurannya sebagai profesi terhormat. Restorasi ini bisa dimulai dari komitmen pribadi para advokat maupun taat pada Kode Etik Advokat Indonesia.

Peringatan dari Abraham Lincoln, seorang advokat dan mantan Presiden AS penting juga dicamkan baik-baik oleh advokat:” If in your own judgment you cannot be an honest lawyer, resolve to be honest without being a lawyer. Choose some other occupation, rather than one in the choosing of which you do, in advance, consent to be a knave.” (Jika Anda koreksi diri bahwa Anda tidak dapat menjadi seorang advokat yang jujur, maka lebih baik menjadi orang yang jujur tanpa harus menjadi seorang advokat. Pilihlah profesi lain daripada memilih suatu profesi yang diyakini, namun dari awal Anda berniat menjadi seorang penjahat (bajingan).

Tantangan lain datang dari perkembangan revolusi industry 4.0. Revolusi industri 4.0 memiliki efek yang besar di berbagai bidang dan sektor, termasuk sektor penegakan hukum terutama eksistensi profesi advokat dalam pemberian jasa hukum kepada kliennya.

Perkembangan teknologi mesin-mesin cerdas buatan manusia (Artificial Intelliegence) ini diyakini tidak berhenti dan terus berkembang menuju kesempurnaan.  Robotik ini akan semakin mampu menghasilkan karya-karya layanan jasa hukum yang bersifat analitis, taktis, dan situasional dengan hasil yang lebih akurat, lebih cepat, lebih murah ketimbang menggunakan jasa profesi advokat. Belum lagi, persaingan di kalangan para advokat tentu akan semakin ketat dan meningkat seiring pesatnya perkembangan teknologi ini.

Namun, kabar baiknya adalah jenis pekerjaan yang membutuhkan keterampilan, kemampuan bersosialisasi, dan kemampuan kognitif (konstruksi proses berfikir, termasuk mengingat, pemecahan masalah dan pengambil keputusan), serta kreativitas akan mampu bertahan dari otomatisasi. Seorang advokat tidak akan tergantikan dalam hal kemampuan kognitif dan kreativitasnya, sehingga tetap bisa bertahan.

Dengan demikian, peningkatan kualitas dan kompetensi diri harus menjadi kunci. Profesi advokat sejatinya adalah pembelajaran seumur hidup atau disebut juga dengan a lifetime education, di mana kita harus terus belajar serta menimba ilmu dan keterampilan baru dari waktu ke waktu.

Dalam catatan PERADI jumlah advokat yang terdaftar di Indonesia sebanyak 50.000 sampai dengan tahun 2019.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close