Tinggal di Kamp Pengungsian, Lukas: Saya Orang Indonesia
Agus kemudian nekat keluar dari kamp dan mulai mencari tanah di seantero Atambua. Akhirnya, dia bertemu seorang tuan tanah di Desa Manleten, Kecamatan Tasifeto Timur, Belu.
Awalnya si tuan tanah menawarkan tanahnya seharga Rp 100 juta untuk 15 hektare. Setelah bernegosiasi, akhirnya disepakati harga Rp 60 juta plus Rp 10 juta untuk mengurus administrasi pertanahan. Setelah deal, Agus bersama warga datang untuk babat alas.
Agus kemudian mengajukan proposal kepada Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Responsnya positif. Bahkan, TNI ikut memberikan bantuan. Total ada 300 rumah yang dibangun lewat bantuan dua instansi tersebut. Baik berupa rumah jadi maupun bahan bangunan.
Nama Agus otomatis melambung. Hingga pada 2008 dia ditawari menjadi anggota Partai Gerindra. Di Pemilu Legislatif 2014, ayah enam anak itu pun sukses menembus DPRD Belu.
Dengan duduk di parlemen, dia lebih leluasa memperjuangkan nasib para WNI kelahiran Timtim di Belu. Selain perkara KTP, dia meminta anggaran untuk pemberantasan buta aksara di Belu dialihkan untuk pendidikan. Salah satunya membuka sejumlah PAUD.
Permintaannya bukan tanpa alasan. Sebab, rata-rata sasaran pemberantasan buta aksara itu merupakan warga senior yang mayoritas sudah melewati usia emas. Ketimbang membuang anggaran untuk mereka, lebih baik membiayai pendidikan usia dini.
Yang menjadi persoalan, banyak warga eks Timtim di NTT yang tidak memiliki dokumen kependudukan sama sekali. Kartu keluarga tertinggal di Timtim saat eksodus. Selain itu, tidak sedikit warga yang tinggal di pelosok yang jauh dari kecamatan. Karena itu, pemerintah harus melakukan jemput bola untuk perekaman data warga.
Selain Agus, ada seorang lagi eks Timtim yang berhasil menjadi legislator di DPRD Belu. Sedangkan di DPRD provinsi, Angelino Da Costa jadi satu-satunya yang sukses masuk parlemen lewat Partai Amanat Nasional.