Undang-Undang Sapu Jagat
Oleh: Dhimam Abror DjuraidMedia massa yang bisa menjadi pilar keempat yang mengontrol demokrasi juga dipatahkan kakinya sehingga menjadi lumpuh. Rezim Soeharto mengontrol media dengan ketat melalui Departemen Penerangan yang mewajibkan semua media mempunyai surat izin penerbitan pers. Dengan mekanisme ini media massa tersandera nyawanya dan kehilangan kebebasan untuk melakukan kontrol sosial.
Kekuasaan yang mutlak akan melahirkan korupsi yang mutlak. Begitu bunyi adgium Lord Acton. Korupsi di era despotik Orde Baru terjadi secara mutlak karena tidak ada kontrol yang efektif.
Korupsi yang sudah meluas menjadi makin parah karena adanya kolusi dan nepotisme. Kekuasaan yang sentralistik melahirkan korupsi yang sentralistik juga.
Gerakan reformasi mahasiswa 1998 membongkar otoritarianisme dan despotisme Orde Baru itu. Era reformasi ditandai dengan desentralisasi kekuatan politik yang lebih besar ke daerah dalam bentuk otonomi daerah.
Para kepala daerah--yang sebelumnya hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat—menjadi otonom dan punya kewenangan yang lebih besar.
Partai politik yang terbelenggu memperoleh kebebasannya kembali. Lembaga DPR menjadi lebih powerful sebagai kekuatan penyeimbang eksekutif. Kalangan kampus memperoleh kembali kebebasan akademik, dan mahasiswa bisa leluasa kembali menyuarakan berbagai aspirasi politiknya.
Media massa memperoleh berkah besar karena dibebaskan dari kontrol pemerintah. Era kebebasan pers yang benar-benar liberal dinikmati oleh media pada masa-masa awal reformasi. Media nyaris bisa memberitakan apa saja tanpa batas. Puluhan ribu media baru bermunculan karena surat izin sudah tidak diperlukan lagi.
Penyakit kronis Orde Baru akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme, dihentikan melalui pembentukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang menjadi super body yang punya kekuatan ekstra dalam memburu para koruptor. KPK menjelma menjadi ‘’ghost buster’’ pemburu hantu yang paling ditakuti oleh koruptor.