Undang-Undang Sapu Jagat
Oleh: Dhimam Abror DjuraidHasil-hasil perjuangan reformasi yang penuh darah dan air mata itu itu pelan-pelan mulai digerogoti hingga menjadi keropos. DPR sudah kehilangan daya kritisnya dan kembali menjadi rubber stamp, lembaga tukang stempel kebijakan pemerintah.
Partai-partai politik dilanda band wagon effect, beramai-ramai melompat naik ke band wagon kekuasaan dan menyisakan sedikit partai oposisi yang lunglai tidak berdaya. Kehidupan kampus kembali mengalami normalisasi seperti era despotisme lama. Para pemimpin kampus kehilangan independensi dan kebebasan akademik, para mahasiswa kehilangan kebebasan untuk mengekspresikan aspirasi politiknya.
Hasil-hasil perjuangan reformasi satu demi satu mengalami pelemahan sistematis. KPK yang menjadi momok para koruptor sudah berhasil dijinakkan.
KPK bukan lagi menjadi super body yang punya kekuasaan pemberantasan korupsi ekstra, karena KPK sudah terkooptasi menjadi bagian dari korporatisme negara.
Otonomi dan desentralisasi yang menjadi ruh reformasi, pelan-pelan digerogoti. Puncaknya terjadi ketika pemerintah memaksakan pemberlakuan undang-undang sapujagat Omnibus Law. Dengan undang-undang itu kewenangan perizinan yang semula terdesentralisasi di daerah disedot kembali menjadi sentralisasi ke pusat.
Undang-undang sapujagat Omnibus Law dengan segala aturan turunannya telah menjadikan pemerintah pusat kembali powerful. Di antara sedemikian banyak penumpang dalam omnibus law yang paling banyak jadi sorotan publik adalah UU Cipta Kerja.
Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial, UU Cipta Kerja dinilai oleh para aktivis serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor.
UU Cipta Kerja adalah paket yang dampaknya dianggap paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia. Inilah yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak UU Cipta Kerja dan menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).