Aksi Marinir Indonesia yang Stupid Crazy VS Gengster Pelabuhan (1)
Dalam hal pelayaran, sebagaimana dicontohkan Srijono, sebuah perusahaan pelayaran tidak memberangkatkan kapal-kapal mereka pada hari Sabtu dan Minggu, karena kru kapal tidak mau atau tidak sanggup.
Waktu dua hari itu sangat mahal bagi sebuah kapal yang besarnya 500 ton, yang ongkos manajemennya lebih kurang Rp50 ribu seharinya. Kalau kapal-kapal di seluruh Indonesia yang sekarang berjumlah lebih kurang 450 buah, semua berbuat demikian, maka dapat digambarkan jumlah pemborosan yang terjadi dalam sebulannya yaitu Rp100 juta.
"Ini baru dilihat dari sudut pemberangkatan kapal saja. Belum lagi dari sudut tertahannya kapal-kapal karena muatan belum ada, surat-surat belum beres karena disengaja tidak dibereskan dan sebagainya," tandasnya.
Srijono menjelaskan, pada waktu itu, setiap kapal sebulannya kehilangan rata-rata 10 hari, yang tidak digunakan secara efektif. Jadi sebulannya untuk seluruh Indonesia berarti pemborosan sebanyak Rp250 juta.
Keadaan ini yang antara lain harus dibereskan tim Operasi Tertib.
"Suatu tugas yang sepintas lalu tidak begitu berat, akan tetapi dalam kenyataannya sangat sulit, oleh karena suatu penertiban, berarti mengancam sandang pangan mereka yang didapat dengan jalan yang tidak jujur. Lagi kalau diingat, bahwa mereka yang tidak jujur itu kadang-kadang mempunyai jabatan tinggi, sangat tinggi," tuturnya.
Di samping manajemen yang salah urus, sebagaimana dijelaskan Srijono, tim Operasi Tertib juga berhadapan dengan soal flow of wealth keluar negeri, yang tak seorang pun dapat mengetahui atau menghitung jumlahnya, "yang paling sedikit ditaksir ada seribu juta rupiah sebulannya," Srijono menggambarkan situasi di Tanjung Priok era 1960-an.
Belum lagi soal uang suap yang berhamburan di lingkaran pejabat tinggi. Istilahnya uang semir!