Anggota DPR Ini Menyoroti Rencana Revisi PP 109/2012, Tegas
Karding menilai bahwa PP 109/2012 yang berlaku saat ini pun sudah sangat menekan dan represif bagi industri rokok selama ini dari hulu ke hilir.
Selama ini, perokok sering dianggap sebagai masyarakat marginal, karena larangan merokok di beberapa tempat diberlakukan secara eksesif.
Oleh karena itu, jika mau direvisi dengan yang lebih ketat, akan timbul dampak yang sangat besar, tidak hanya terkait pendapatan negara, namun juga kepada aspek ekonomi dan sosial.
“Pemerintah sebaiknya tidak gegabah dan jangan mudah tunduk pada dorongan asing, karena hal ini akan mengganggu ekosistem pertembakauan Indonesia. Banyak sekali orang yang hidupnya bergantung pada rokok, mulai dari buruh linting, pedagang, pemilik industri, dan lainnya, yang akan terancam kelangsungan hidupnya dengan adanya revisi ini,” imbuh Ketua Umum IKA Universitas Diponegoro (Undip) tersebut.
Secara terpisah, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Surabaya (Gapero Surabaya) Sulami Bahar juga tidak habis pikir dengan dasar dan tujuan pemerintah melakukan revisi PP 109/2012 adalah karena ingin menurunkan prevalensi perokok anak yang dianggap masih tinggi.
Menurut Sulami, pemerintah selama ini rancu. Data yang selalu dimunculkan terkait prevalensi perokok anak adalah data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) 2018 yang menyebut di angka 9,1 persen.
Padahal, lanjut Sulami, ada data yang lebih update dari BPS (Badan Pusat Statistik) yang menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir, yaitu 3,87 persen pada 2019, menjadi 3,44 persen pada 2022.
”BPS ini kan instrumen yang dimiliki pemerintah juga, tapi kenapa tidak pernah dipakai? Kemudian, kalau datanya justru ada penurunan signifikan, terus apa urgensi revisi (PP 109/2012)?” kata Sulami.