Bareng KLHK dan Pemprov NTT, Ansy Lema Gelar Sosialisasi Penanganan Limbah Infeksius Covid-19
“Selain mengeluarkan Surat Edaran, kami (KLHK) juga mengeluarkan surat yang ditujukan kepada jasa pengelola dan pengangkutan limbah B3 untuk tetap mengolahnya. Saat terjadi wabah, mereka mundur, tidak mau mengelola dan mengangkut karena takut tertular Covid-19. Kami juga berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan agar pergerakan pengangkutan limbah tidak dilarang,” papar Vivien.
Salah satu persoalan di NTT dan banyak daerah lainnya di Indonesia adalah keterbasan insinerator (tungku pembakaran) limbah B3.
Karena keterbatasan itu, maka KLHK sudah mengeluarkan diskresi agar pemerintah dan rumah sakit dapat menggunakan insinerator yang belum berizin di tengah pandemi Covid-19. Ini sangat perlu untuk mengindari penumpukan limbah infeksius Covid-19.
Sedangkan untuk daerah-daerah yang tidak memiliki insinerator, maka sudah diberikan diskresi untuk melakukan penguburan limbah medisnya berdasarkan standar yang berlaku.
Pemaparan dan Diskusi
Sebagai pemapar pertama, Ansy Lema menjelaskan bahwa jumlah pasien penderita Covid-19 telah mencapai lebih 25.000 orang. Fakta ini paralel dengan peningkatan limbah medis B3. Selama periode Covid-19, limbah infeksius akibat Covid-19 diperkirakan meningkat 30 persen.
Kondisi peningkatan limbah medis B3 perlu diwaspadai, sehingga tidak menularkan Covid-19. KLHK mencatat, hingga saat ini hanya 100 Rumah Sakit yang memiliki insinerator, dan 14 perusahaan jasa pengelola limbah B3 di Indonesia.
Komisi IV menilai persoalan limbah B3 tidak hanya penumpukan limbah medis yang berdampak pada pencemaran lingkungan dan berbahaya bagi kehidupan manusia. Indonesia juga mengalami persoalan impor sampah dari luar negeri yangbtercampur limbah B3. Sampai saat ini, Indonesia telah melakukan reekspor 431 kontainer limbah yang tercampur sampah dan terkontaminasi B3 ke negara asalnya seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris.