Catatan Kritis Demokrat di RUU Ciptaker: Hak Buruh hingga Kemudahan Tenaga Kerja Asing
jpnn.com, JAKARTA - Fraksi Partai Demokrat (FPD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan catatan kritis atas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). FPD menolak pembahasan RUU Ciptaker dilanjutkan ke pengambilan keputusan tingkat dua di Rapat Paripurna (Rapur) DPR.
Anggota FPD di DPR Hinca Panjaitan mengatakan berdasar visi misi partainya pembahasan RUU ini harus bisa melahirkan kebijakan ekonomi yang holistik dengan semangat pro job, pro growth, pro poor, dan pro environment. Atas dasar itu, fraksi yang dipimpin Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas ini menyampaikan catatan kritis terhadap RUU Ciptaker.
Dari sisi ketenagakerjaan misalnya, Hinca menyebut ada sejumlah ketidakadilan di sektor ini. "Antara lain mengenai aturan prinsip no work no pay oleh pengusaha karena upah dibayar atas satuan waktu kerja per jam," ungkapnya dalam rapat Baleg DPR dengan pemerintah dan DPD, Sabtu (3/10).
Ia menyatakan aturan mengenai hak pekerja atas istirahat mingguan selama dua hari dalam sepekan juga dihilangkan. Karena 48 jam dalam satu minggu dikembalikan dalam perjanjian kerja. "Tentu saja aturan ini merugikan bagi seluruh pekerja," jelasnya.
Menurutnya, dalam RUU ini juga mengandung sistem "mudah mencari mudah memecatnya". Misalnya, ketentuan pekerja kontrak dan outsorucing yang dilonggarkan secara drastis. Ini menyebabkan pekerja kesulitan mendapatkan kepastian hak untuk menjadi pekerja tetap.
Kemudian pelonggaran aturan terkait hak cuti, libur, dan perlindungan upah saat buruh berhalangan juga sangat berdampak pada pekerja. “Terutama bagi kaum pekerja perempuan yang sedang berhalangan karena cuti haid, hamil, melahirkan dan menyusui,” kata Hinca.
Dia menambahkan RUU ini juga memberikan kemudahan dan kelonggaran bagi perusahaan mempekerjakan tenaga kerja asing atau TKA. Hal ini, kata Hinca, tidak hanya akan berdampak pada pekerja kelas bawah, tetapi juga menengah. "Ini berpotensi menyebabkan angkatan kerja Indonesia akan dikalahkan oleh TKA dan dinomorduakan di negerinya sendiri," kata Hinca.
Selain itu RUU ini juga akan berimplikasi sektor UMKM, konsumen, dan hukum bisnis. Bagi UMKM dan sektor informal, kata Hinca, substansi RUU ini tidak menjawab kebutuhan di lapangan. Misalnya soal basis data tunggal, pola kemitraan yang eksploitatif, dan revisi aturan koperasi.