Kemenpera Kecewa PPN Rumah Bersubsidi Dihapus
Harga itu berbeda dengan harga yang ditentukan oleh Kemenkeu. Kisaran harganya dari Rp 105 juta-Rp 165 juta. Terbagi menjadi sembilan zona. Yakni Jawa (non Jabodetabek) Rp 105 juta, Sumatera (tidak termasuk Bangka-Belitung) Rp 105 juta, Kalimantan Rp 118 juta, Sulawesi Rp 110 juta, Maluku dan Maluku Utara Rp 120 juta, Bali dan NTT Rp 120 juta, Papua dan Paua Barat Rp 165 juta, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung Rp 110 juta, dan Jabodetabek Rp 120 juta.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany mengatakan, beleid terbaru pembebasan PPN untuk rumah murah berlaku hingga 2018 dan zonasinya diperluas dari tiga menjadi sembilan.
"Kenapa sampai 2018, agar lebih ada kepastian, tidak seperti sebelumnya yang tiap tahun harus keluar aturannya. Adapun zonasi diperluas agar lebih detil karena harga rumah per wilayah beda-beda," ujarnya.
Menurut Fuad, rumah yang berhak mendapat fasilitas bebas PPN adalah yang berada di kisaran harga Rp 105 - 165 juta. Formulasi hitungannya sudah mempertimbangkan kenaikan harga tanah dan biaya konstruksi.
Misalnya, dia menyebut harga rumah murah kawasan Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi) bebas PPN, pada 2014 maksimal Rp 120 juta, lalu naik berturut-turut menjadi Rp 126,5 juta, Rp 133,5 juta, Rp 141 juta, sampai Rp 148,5 juta mulai 2015 hingga 2018. 'Penentuan harga ini berdasar masukan dari Kemenpera (Kementerian Perumahan Rakyat) dan PU (Pekerjaan Umum),' jelasnya.
Saat ini, detil lengkap aturan terkait insentif bebas PPN memang belum dipublikasikan karena Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi payung hukumnya belum mendapat nomor PMK di Kementerian Hukum dan HAM.
Secara terpisah menanggapi hal itu Ketua DPD REI Jatim Erlangga Satriagung mengatakan semestinya sektor properti harus menjadi sektor strategis dalam pembangunan nasional. Sebab kalau menjadi sektor strategis, maka akan menimbulkan multiplier effect yang positif bagi sektor usaha lain.
"Termasuk keluarnya kebijakan penghapusan PPN rumah bersubsidi, ini menunjukkan properti masih menjadi kebijakan sektoral dan menghambat terjadinya transaksi. Jadi, pemerintah cenderung berhitung dalam membantu penyediaan rumah bersubsidi. Semestinya pemerintah harus memperhitungkan multiplier effect dari sektor properti. Misalnya dengan kebijakan yang dapat meningkatkan transaksi. Nah semestinya untuk menjadi sektor yang strategis, kebijakan properti tidak boleh ditetapkan satu sektor, harus pemerintah yang memutuskan. Ini yang belum dipahami," urainya. (aph/owi/res)