Kisah Polwan Pertama Keturunan Tionghoa jadi Intel, Menyamar jadi Tukang Pijat
Berbekal pendidikan kepolisian di Dinas Pengamanan Keselamatan Negara (DPKN) itu, Anna memulai karir kepolisian di Aceh pada 1960. "Dari semua yang ditawarin, hanya saya yang mau ke Aceh," ungkapnya.
Di usia 76 tahun saat ini, kemampuan pendengaran Anna memang sudah berkurang. Jalannya juga tertatih. Tapi, daya ingat perempuan yang rambutnya sudah memutih itu masih sangat terjaga.
Detail pengabdiannya sebagai polwan masih terekam dengan baik dan bisa diungkapkannya dengan runtut. Seolah-olah baru terjadi beberapa hari lalu. Misalnya bagaimana dia merasa tak menemukan tantangan selama setahun bertugas di Aceh.
Baru setelah dipindahkan ke Jakarta, jiwanya yang haus akan tantangan klop dengan penugasan barunya: sebagai intel. Tugas baru sebagai pemburu informasi di semua lapisan masyarakat itu, menuntutnya menguasai banyak skill.
Anna pun akhirnya memilih belajar akupunktur, potong rambut, jadi tukang pijat, hingga pembuat kue. Semua keahlian itu dia pelajari melalui berbagai kursus. "Semua keahlian itu penting untuk tugas intelijen," tuturnya.
Benar saja. Keahlian sebagai tukang pijat, misalnya, turut membantunya mengungkap kasus penyelundupan di sebuah daerah. Selama pengungkapan itu, dia tinggal di kawasan asrama polisi dengan status menyamar sebagai tukang pijat.
Dua minggu di sana, hanya rekannya, seorang polisi, yang tahu identitas dia sebenarnya. Selama dua minggu itu pula, dia melayani panggilan pijat para istri polisi, termasuk istri rekannya yang tahu soal identitasnya tadi.
Nah, suatu ketika Anna datang lagi ke kota tersebut dengan identitas aslinya sebagai intel. Dia pun kerap pergi hingga larut malam dengan teman polisinya tadi.