MAHUPIKI Mengundang Sejumlah Guru Besar, Mereka Menjelaskan Urgensi KUHP Baru
Prof Topo menjelaskan, KUHP baru menganut prinsip adanya asas bahwa tidak boleh orang dihukum tanpa adanya kesalahan.
KUHP baru juga menegaskan bahwa pada asasnya, hanya orang yang sengaja saja yang bisa dihukum.
Oleh karena itu penting untuk diperiksa apakah orang itu melakukan sengaja atau tidak meskipun kata itu sudah tidak dicantumkan lagi.
KUHP baru, lanjutnya, juga menyesuaikan perkembangan yang terjadi pada perubahan hukum di dunia, sehingga ada tindak pidana yang pelakunya tidak memiliki kesalahan, namun bisa dihukum, akan tetapi sebagai pengecualian tertentu dan harus ditulis dengan jelas, yang penting semua unsurnya telah terpenuhi dan harus sangat eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang (UU).
Sementara, Prof. Dr. Pujiyono mengatakan bahwa living law bukanlah hal baru. Hukum positif Indonesia mengenal living law, sehingga tidak perlu diperdebatkan.
“Perbuatan jahat apakah memang hanya yang tercantum dalam UU? Saya pikir hal itu sangat naif karena di dalam masyarakat kita banyak sekali perbuatan tercela yang tidak diatur dalam UU yang tertulis, padahal itu diatur dan hidup dalam hukum pidana adat di masyarakat,” papar Prof. Pujiyono.
Dikatakan, ketika orang yang menyatakan bahwa living law seolah tidak memberikan kepastian hukum, padahal kepastian hukum tidak hanya sekadar sesuai dengan UU.
“Karena dalam masyarakat ada suatu norma-norma yang tidak tertulis, maka dari itu living law harus dihidupkan kembali dalam ketentuan hukum pidana.”