Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Mengikuti Upacara Tradisi Petekan, Tes Kehamilan ala Suku Tengger, di Desa Ngadas, Malang

Yang Hamil di Luar Nikah Didenda 50 Sak Semen

Selasa, 07 Juli 2015 – 07:37 WIB
Mengikuti Upacara Tradisi Petekan, Tes Kehamilan ala Suku Tengger, di Desa Ngadas, Malang - JPNN.COM
TRADISI LAMA: Rendra Kresna (berkopiah) menyaksikan upacara petekan di Desa Ngadas, Kabupaten Malang. Upacara itu melibatkan para gadis dan janda di kalangan suku Tengger. Foto: Doli Siregar/Radar Malang

Hukuman yang lebih berat akan dijatuhkan kepada perempuan hamil di luar nikah dengan pria yang sudah berkeluarga. Jika itu yang terjadi, si pria akan didenda 100 sak semen, sedangkan si perempuan harus membayar 50 sak semen. Selanjutnya, pasangan tersebut dipermalukan. Yakni, keduanya harus menyapu jalanan desa hingga bersih, mulai ujung atas hingga ujung bawah jalan yang ditentukan. Tak cukup hanya itu. Pihak perempuan dan keluarganya akan dikucilkan warga.

Terakhir, pasangan tersebut akan dinikahkan, tapi hanya secara adat. Tidak secara agama. Dan, umur pernikahan tersebut hanya sampai si perempuan melahirkan anaknya. Setelah itu, si laki-laki harus menceraikannya.

”Karena dalam masyarakat Ngadas tidak dikenal poligami. Jadi, kalau ada pria yang sudah berkeluarga sampai menghamili wanita lain di luar pernikahan, dia hanya wajib mengawini secara adat wanita itu. Selama menjadi suami adat, si suami tidak boleh mendekati istrinya, apalagi sampai berhubungan intim,’’ ujar bapak empat anak itu.

Hukum adat petekan tersebut, kata Rendra, ternyata sangat efektif untuk menciptakan efek jera bagi warga Tengger. Buktinya, tradisi itu bisa mencegah atau mengurangi angka pemerkosaan atau perbuatan asusila lainnya di kalangan warga Tengger.

”Dengan adanya hukum adat itu, wanita Ngadas menjadi sangat berhati-hati dalam bergaul dengan pria,” ujarnya.

Tradisi petekan ini hingga kini terjaga dengan baik di kalangan warga Tengger. Padahal, menurut literatur, tradisi itu sudah ada pada 1772, sejak Desa Ngadas terbentuk. ”Bagi masyarakat Tengger, seks adalah sesuatu yang sangat sakral. Nah, tradisi petekan ini dibikin dalam rangka untuk menjaga kesakralan seks itu,” imbuhnya.

Masyarakat Tengger meyakini bahwa bencana alam atau wabah penyakit akan datang bila mereka tidak bisa menjaga kesakralan seks. ”Kalau di antara mereka ada yang hamil di luar nikah atau ada yang berhubungan intim di luar pernikahan, dan itu tidak terdeteksi lewat petekan, maka akan ada tanda-tanda alam yang tidak wajar atau wabah penyakit. Ini menurut cerita tokoh masyarakat atau para sesepuh di desa itu,” cerita Rendra.

Tanda-tanda alam tersebut, misalnya, ayam berkokok sebelum waktunya, ada jejak kaki harimau di jalan desa, dan warga diserang penyakit secara masal. ”Pernah suatu saat banyak para wanitanya muntah-muntah, perutnya mual, padahal mereka tidak sedang hamil,” jelasnya.

Suku Tengger yang tinggal di Kabupaten Malang punya tradisi unik. Namanya tradisi petekan. Dengan tradisi itu, kehamilan perempuan Tengger dari hubungan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA
X Close