MKMK Tidak Bisa Mengoreksi Putusan MK yang Menguntungkan Gibran
jpnn.com, JAKARTA - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyimpulkan bahwa mereka tidak bisa mengoreksi putusan kontroversial MK berkaitan dengan syarat usia capres-cawapres.
Hal itu terungkap dalam kesimpulan putusan etik pertama yang dibacakan MKMK untuk 9 hakim konstitusi secara kolektif, terkait isu pembiaran konflik kepentingan dan kebocoran rahasia Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dibacakan oleh Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, Selasa (7/11).
"Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023," kata Jimly.
"Pasal 17 Ayat (6) dan Ayat (7) UU 48/2009 tidak dapat diberlakukan dalam putusan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi," lanjutnya.
Sebelumnya, UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa putusan tidak sah jika melibatkan hakim yang terlibat konflik kepentingan.
Undang-Undang itu yang digunakan salah satu pelapor, Denny Indrayana dalam laporan pelanggaran kode etik hakim konstitusi.
Tak hanya itu, anggota MKMK Wahiduddin Adams menyebutkan sebagai seoran negarawan, hakim MK seharusnya memiliki sense of ethics untuk mundur jika tidak merasa tidak bisa bersikap objektif dalam suatu perkara.
"Karena perkara tersebut berhubungan atau setidak-tidaknya memiliki kepentingan langsung personal dirinya dan/atau anggota keluarganya, termasuk untuk mencegah anggapan umum tentang keberpihakan hakim yang semestinya sudah dapat diperkirakan sebelumnya," kata Wahiduddin Adams.