Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Omnibus Law dan Demokrasi Deliberatif

Kamis, 27 Februari 2020 – 22:40 WIB
Omnibus Law dan Demokrasi Deliberatif - JPNN.COM
Ketua Umum DPP GMNI 2019-2022, Arjuna Putra Aldino. Foto: Dokpri for JPNN.com

Untuk itu, konsep omnibus law tidak jarang digunakan untuk mengatasi tumpang tindih (overlapping) regulasi maupun dalam hal menyederhanakan peraturan perundang-undangan. Namun pada perjalanannya omnibus law justru berjalan tak sesuai konsep adiluhung yang bakal menjadi panacea atas sengkarutnya kondisi regulasi dan peraturan perundang-undangan saat ini.

Kontroversi dan Dis-orientasi

Kontroversi mulai banyak timbul pada draf RUU Cipta Lapangan Kerja. Sejumlah pasal kontroversial menghinggapi RUU Cipta Lapangan Kerja ini. Beberapa hal yang menjadi sorotan, salah satunya seperti pasal 89 poin 24 disebutkan, bahwa Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Pasal ini bisa bermakna bahwa upah minimum akan menggunakan standar provinsi (UMP). Padahal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, penetapan upah dilakukan di provinsi serta Kabupaten/Kota. Sejumlah serikat buruh menganggap skema ini akan merugikan pekerja karena standar upah minimum provinsi seringkali lebih kecil dibanding upah minimum Kabupaten/Kota. Sebagai contoh, upah minimum Kabupaten Karawang yang berlaku saat ini sebesar Rp4.594.324 dan upah minimum Bekasi sebesar Rp4.498.961. Sementara, upah minimum provinsi yang berlaku di Jawa Barat sebesar Rp1.810.350. Artinya, jika menggunakan skema UMP seperti yang termuat dalam RUU Cipta Lapangan Kerja upah pekerja bisa jauh lebih kecil dari sebelumnya.

Kedua, dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam RUU Cipta Lapangan Kerja tidak memuat uang penggantian hak, sedangkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pekerja berhak memperoleh uang penggantian hak jika di PHK. Ketiga, pembayaran upah bagi pekerja yang berhalangan tak lagi disebutkan dalam omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja. Sedangkan, aturan sebelumnya (UU Nomor 13 Tahun 2003) tetap membayar upah pekerja yang sakit sebesar 25-100 persen (tergantung lama sakit) dan yang tidak masuk kerja selama 1-3 hari karena menikah, melahirkan, atau ada anggota keluarga yang meninggal.

Keempat, dalam RUU Cipta Lapangan Kerja waktu kerja lembur diperpanjang menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja ini paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.

Tentu poin-poin kontroversial tersebut mendapat penolakan dari kalangan serikat buruh. Karena dianggap mengurangi hak pekerja. Padahal jika kita merujuk tujuan awal dicetuskannya omnibus law oleh Presiden Jokowi adalah untuk menyederhanakan regulasi.

Artinya omnibus law dalam perjalanannya mengalami dis-orientasi. Karena berdasarkan data yang ada, rendahnya investasi yang masuk ke Indonesia bukanlah persoalan upah buruh yang terlalu tinggi. Melainkan karena adanya hiper-regulasi yang membuat in-efisiensi. Pasalnya berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sejak Januari hingga Agustus 2019 nominal upah hanya mengalami kenaikan sebesar 3 persen.

Kenaikan upah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 3,2 persen. Bahkan data Bank Dunia menyebutkan dari 2016 hingga 2018, sebanyak 46 persen pekerja menerima upah di bawah upah minimum yang ditetapkan oleh masing-masing daerah.

Konsep omnibus law tidak jarang digunakan untuk mengatasi tumpang tindih (overlapping) regulasi maupun dalam hal menyederhanakan peraturan perundang-undangan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA
X Close