Pakar Hukum Soroti Pencawapresan Gibran, Menohok
Lebih lanjut, pasca-ditetapkannya pasangan Capres-Cawapres oleh KPU, Bivitri mengajak pemilih untuk melihat logika moral dari para calon.
“Pegangan kita adalah kompas moral kita. Kok bisa ada intelektual melihat suatu kesalahan tapi diam saja. Ini pertanda bahwa demokrasi kita sidah di ambang bahaya,” tandas Bivitri lagi.
“Dan, karena itu legitimasi ini sesuatu yang sangat penting, ini kan pilpres dan kedepannya pasti akan mengganggu proses. Sebenarnya buruk untuk mereka, kalau menurut saya, orang Indonesia, semuanya bernalar, kita enggak bodoh-bodoh juga, kita bisa melihat dengan kasat mata bahwa ada benturan kepentingan, ada masalah, sehingga sebenarnya legitimasinya cacat,” ujar perempuan yang akrab disapa Vitri ini.
Tanpa Dua Legitimasi
Sementara itu, Dosen Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad menyoroti pencalonan Gibran yang meskipun dianggap memenuhi syarat pencalonan berdasarkan keputusan MK, kendati putusan tersebut diwarnai pelanggaran etik berat.
“Proses-proses ini yang kemudian bicara moralitas. Dalam konteks ini, Gibran secara hukum menurut putusan MK, legal, tetapi secara proses dianggap bermasalah, cacat," ujarnya.
Ketiga, adalah legitimasi elektoral. Nyarwi menyebut legitimasi itu disandarkan pada tingkat keterpilihan.
Menurutnya, kalaupun nanti Gibran memenangi pertarungan, maka hanya ada legitimasi elektoral.