Pemerintah Disarankan Tidak Mencabut Kewarganegaraan Eks ISIS
jpnn.com, JAKARTA - Peneliti The Habibie Center Nurina Vidya Hutagalung menilai pencabutan kewarganegaraan eks warga ISIS adalah kebijakan kontraproduktif. Pasalnya, hanya akan memberi legitimasi bagi kelompok militan yang sudah hancur tersebut.
"Pilihan kebijakan pencabutan kewarganegaraan sebagai hukuman terhadap simpatisan ISIS justru dapat menjadi kontra-produktif karena berpotensi memberikan legitimasi bagi keberadaan ISIS itu sendiri sebagai suatu entitas politik," ujar Vidya di Jakarta, Jumat (27/9).
Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam acara seminar bertajuk "Bicara Terorisme: Tantangan dan Solusi Pemulangan Simpatisan ISIS" yang diadakan oleh lembaga penelitian The Habibie Center di Jakarta.
Dia menjelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sulit untuk bisa digunakan sebagai rujukan bagi kebijakan dan tindakan pencabutan kewarganegaraan dari para WNI simpatisan ISIS tersebut.
Misalnya, pasal 23 Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia mengatur kondisi dimana seorang WNI dapat kehilangan kewarganegarannya, yakni masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden dan secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada atau bagian dari negara asing. Pasal tersebut memang berpotensi untuk dijadikan rujukan.
Namun, kata Vidya, status ISIS sebagai tentara atau negara asing tentu masih diperdebatkan. Dunia internasional tidak menganggap ISIS sebagai suatu entitas politik atau suatu negara.
Konvensi Montevideo 1933 mengatur syarat berdirinya sebuah negara, yaitu populasi permanen, wilayah yang tetap, pemerintah dengan kendali yang efektif, dan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara lain.
"Pada tahun-tahun kekuasaan ISIS berada pada puncaknya, setidaknya tiga syarat pertama bisa dianggap terpenuhi. Akan tetapi, hingga saat ini tidak ada satu negara pun yang bersedia menjalin hubungan diplomatik resmi dengan ISIS, sehingga tidak mungkin ISIS berhak atas status negara," jelas Vidya.