Pemerintah Gelar Rapat Mendadak
Bahas Badai Krisis FinansialMinggu, 05 Oktober 2008 – 07:52 WIB
Menurut dia, besaran USD 700 miliar dinilai masih belum kuat untuk mengatasi dampak krisis. Sebagai ilustrasi, mortgage loan di AS bernilai USD 10,6 triliun, di mana USD 1,5 triliun adalah subprime mortgage. PDB AS saat ini adalah USD 14 triliun. ”Jadi, memang ada kerugian apakah itu cukup atau tidak.”
Hal itulah yang membuat respons investor justru paradoks dengan persetujuan dari DPR AS. Terbukti, Wall Street justru memerah, demikian pula dengan bursa kawasan. ”Bailout memang semestinya direspons positif oleh pelaku bursa. Namun, pasar juga masih ragu-ragu, karena bailout tersebut hanya merupakan komitmen awal dari berbagai langkah selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah AS,” terang Tony. Bailout ini dilakukan dalam tiga tahun. Padahal, selama tiga tahun ke depan, banyak hal bisa terjadi.
Selanjutnya, sambung dia, yang akan ditunggu investor adalah aksi apa yang akan dilakukan TARP (Troubled Assets Relief Program), semacam BPPN-nya AS. ”TARP harus melakukan restrukturisasi kredit macet, dan juga berusaha mendivestasikannya ke investor lain, baik domestik maupun asing, seperti sovereign wealth fund.”
Selain itu, instrumen suku bunga mesti dimainkan. Menurut Tony, suku bunga The Fed yang saat ini di posisi 2 persen mesti diturunkan untuk mengurangi tekanan kredit macet. ”Begitu pula BI rate setidaknya dipertahankan agar likuiditas di pasar tidak semakin ketat,” tuturnya.
Meski demikian, sektor finansial dalam negeri bisa dikatakan relatif aman dari terjangan krisis finansial di AS. Pakar investasi Roy Sembel mengatakan, sektor finansial dalam negeri masih cukup aman dari badai finansial global. Sebab, industri keuangan Indonesia belum sematang negara-negara maju lainnya. ”Kita hanya perlu menguatkan manajemen risikonya,” ujar Chief Research Officer (CRO) Research Center for Capital Price itu.
Menurut dia, sektor finansial Indonesia saat ini sudah menuju tahap pemulihan total dari empasan krisis 1997-1998. Sehingga, lembaga keuangan di tanah air belum seberapa masif berekspansi ke luar negeri setelah merestrukturisasi dirinya pascakrisis 1997-1998. Produk derivatif juga belum banyak berkembang. ”Karena itu, tidak ada keterkaitan secara langsung dengan krisis finansial global. Apalagi, fundamental perekonomian kita sudah jauh lebih kuat. Sektor perbankan kita jauh lebih mapan. Manajemen risikonya sudah berhasil,” terangnya.