Pengusaha Domestik Berebutan jadi Partner Bisnis dengan Freeport
Ia menjelaskan, DPR tidak memiliki politik konstitusional jelas dalam divestasi, hal yang kemudian membuat presiden bersama menteri-menterinya mencari cara lain mendapat saham Freeport, yaitu melakukan divestasi dengan mekanisme korporasi.
Ia menjelaskan, sebelum membeli 51 persen saham Freeport, perusahaan tambang BUMN telah melakukan konsolidasi dengan membentuk perusahaan holding (PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk dan PT Bukit Asam Tbk), yang jika digabung, total aset INALUM sebesar Rp 86 triliun.
Dengan total aset yang begitu besar, kata dia, memudahkan INALUM mendapat pinjaman bank dan melakukan ekspansi bisnis. Dengan cash flow (arus kas) anak usaha (PTBA 2018 Rp 4.45 triliun, PT Timah 1.29 triliun) yang besar, juga memudahkan INALUM membeli saham Freeport.
Dengan membeli 51 persen saham Freeport, total aset INALUM menjadi Rp180 triliun. Menurut Ferdy, dana pinjaman untuk membeli saham Freeport akan tertutup oleh laba bersih Freeport yang rata-rata di atas US$ 2 miliar per tahun setelah 2022.
“Apalagi, tambang underground (93% total cadangan Freeport di underground) mulai berproduksi tahun 2019,” kata Ferdy.
Nilai pasar (market value) INALUM mencapai US$15 miliar jika sukses mengontrol 51 persen saham Freeport. Nilai pasar seperti itu sudah cukup menempatkan INALUM sejajar dengan raksasa-raksasa tambang dunia, seperti Freeport McmoRRan (induk usaha Freeport) yang memiliki nilai pasar sebesar US$20.9 miliar. Angka itu memang jauh dibawah raksasa tambang dunia, Rio Tinto Plc dengan nilai pasar sebesar US$86.55 miliar.
Karena itu, ia menekankan, keputusan pemerintahan Jokowi sangat penting bagi masa depan pertambangan kita.
“Indonesia memiliki cadangan mineral berlimpah, berupa emas, tembaga, nikel, dan batubara yang melimpah. Namun, yang mengontrol pasar nikel, bauksit, tembaga dan batubara, bukan perusahaan BUMN, tetapi perusahaan-perusahaan asing dan group lokal besar,” katanya.
Selama bertahun-tahun, ungkap dia, tak ada sesuatu yang bisa kita banggakan dari perusahaan-perusahaan BUMN, di mana BUMN tambang tak bisa diandalkan meningkatkan penerimaan negara, karena dividen kecil dan tak profitable.