Pidana Mati Dalam KUHP
Oleh I Wayan Sudirta - Anggota Komisi III DPR RIBerbagai delegasi melaporkan apa yang terjadi di negerinya baik dari perspektif yuridis maupun praktis.
Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 74 negara diperoleh data bahwa sekalipun sebagian besar tetap mempertahankan pidana mati, tetapi berbagai macam alat hukum diatur untuk lebih memanusiawikan pidana mati.
Hampir semua negara mempertahankan pidana mati memiliki persyaratan-persyaratan yuridis, yang mengatur hak-hak dari terpidana untuk minta peninjauan kembali, meminta pengampunan, perubahan pidana dan penangguhan pidana mati.
Hal ini kemudian memperoleh penguatan yakni dengan keluarnya Resolusi Sidang Umum PBB No. 35/172.
Pengaturan pidana mati dilakukan dengan alasan demi pengayoman masyarakat. Di samping pengaturan tentang tujuan pemidanaan tersebut, diatur pula hal yang strategis dalam pemidanaan yaitu pengaturan tentang pedoman pemidanaan.
Hal ini penting untuk menghindari disparitas pidana, yakni penjatuhan pidana yang berbeda-beda untuk tindak pidana yang sama, atau yang ancaman pidananya kurang lebih sama tanpa pertimbangan yang bisa dipahami, semata-mata atas dasar diskresi hakim.
Dengan pedoman pemidanaan tersebut tidak dimaksudkan adanya penjatuhan pidana yang seragam (parity of sentencing) tetapi penjatuhan pidana yang rasional (rational sentencing).
Dalam praktik teori kondisional seperti dalam KUHP, menilai bahwa hukuman mati dapat diberlakukan namun dengan syarat yang sangat ketat dan selalu menjadi ancaman dan jalan keluar paling akhir (last resort).