Rupiah Melemah, Minta Harga Obat Naik 5 Persen
jpnn.com, JAKARTA - Pelemahan rupiah terhadap dolar AS menambah beban perusahan farmasi penyuplai obat-obatan untuk program jaminan kesehatan nasional (JKN).
Beban bertambah karena mereka masih memiliki tagihan utang kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp 3,5 triliun. Untuk itu mereka meminta kenaikan harga obat untuk program JKN sebesar 5 persen.
Permintaan kenaikan harga obat tersebut diutarakan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Dorodjatun Sanusi.
’’Untuk (menyikapi, Red) penurunan nilai tukar, kita minta ada kenaikan harga obat 5 persen,’’ katanya seperti diberitakan Jawa Pos.
Dalam program JKN biaya obat sudah menjadi satu dalam layanan kesehatan berbasis INA-CBGs (Indonesia Case Base Grous). Dalam INA-CBGs layanan kesehatan program JKN dihitung dalam satu kasus secara keseluruhan. Misalnya penanganan terhadap persalinan atau penyakit lainnya. Nah di dalam layanan tersebut ada komponen harga obat-obatan.
Darodjatun menuturkan permintaan kenaikan harga obat sebesar 5 persen itu dia nilai wajar. Sebab selama ini bahan baku obat-obatan masih impor. Dia mengatakan dengan adanya kenaikan harga itu, bisa memperkecil potensi kerugian yang dialami oleh perusahaan farmasi.
Menurut dia dalam program JKN juga harus mempertimbangkan keberlanjutan usaha farmasi tanah air. Sebab jika perusahaan farmasi tidak bisa memproduksi obat-obatan karena merugi, program JKN juga akan terdampak. Fasilitas kesehatan (faskes) mitra BPJS Kesehatan menjadi kekurangan bahkan kehabisan stok obat-obatan. Ujungnya masyarakat peserta program JKN yang menanggung kerugian.
Dalam forum bersama DJSN tersebut GP Farmasi juga menyampaikan permintaan kenaikan harga obat minimal 20 persen. Kenaikan harga obat itu tidak terkait dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Tetapi murni karena adanya kenaikan harga bahan baku pembuatan obat dari luar negeri. ’’Yang realisasi kenaikan 5 persen diharapkan secepatnya,’’ tutur Darodjatun.