Safari Harmoko
Ganti saya yang tidak langsung bereaksi. Sambil tetap tersenyum saya manggut-manggut. Saya tidak mengucapkan kata apa pun. Lalu mengalihkan pembicaraan ke soal lain.
Keluar dari ruang kerja beliau saya pusing. Orang yang ditunjuk menjadi pemimpin umum harian Merdeka yang baru nanti saya kenal. Politisi. Loyalis. Bukan pengusaha. Bukan wartawan.
Maka saya harus cari akal untuk menolak nama itu. Harus dengan cara yang benar –cara Jawa. Saya kan ingin koran itu maju.
Kalau nama itu yang tampil menjadi pemimpin umumnya pasti sulit berkembang. Koran itu nanti akan terasa terlalu Golkar.
Saya pun memutuskan untuk sementara tidak bertemu Pak Harmoko lagi. Biar beliau lupa dulu.
Lalu datanglah ide baik. Pak Harmoko itu kan nasionalis. Beliau pernah menjadi aktivis GSNI –Gerakan Siswa Nasionalis Indonesia. BM Diah itu juga nasionalis. Soekarnois.
Harian Merdeka itu sangat nasionalis. Pak Harmoko pernah berkarier di harian Merdeka. Sebagai wartawan dan karikaturis.
Akhirnya saya bertemu Pak Harmoko. Saya bilang dengan nada yang amat sangat sopan. Dengan dua tangan ngapurancang. Dengan mata menatap ke lantai.