Senator Filep Wamafma Dorong BPK Mengaudit Cost Recovery LNG Tangguh, Pupuk Kaltim hingga Dana Otsus
“Hal ini yang membuat perusahaan diuntungkan. Istilah cost recovery oleh perusahaan dimaknai dengan pengganti biaya produksi, yakni biaya untuk mengganti belanja eksplorasi, pengembangan lapangan, dan operasi yang dikeluarkan kontrak bagi hasil. Dengan kata lain, dana itu adalah uang yang ‘dipinjamkan’ dan nanti juga dipotong oleh DBH migas yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah,” ujar Filep.
Sesungguhnya, kata Filep, cost recovery ini bermasalah karena negara kerap kali menanggung beban cost recovery yang membengkak, sehingga jatah minyak dan gas menurun drastis, padahal tingginya cost recovey ini sering disebabkan karena inefisiensi perusahaan.
Filep menekankan hal yang paling dikhawatirkan pada gilirannya, mekanisme ini akan menyebabkan DBH Migas menyusut dan Pemda tidak mendapat apapun, terlebih masyarakat adat.
Artinya, dengan memakai dasar hukum PP Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, cost recovery dipraktikkan untuk menguntungkan perusahaan.
“Tak hanya itu, salah satu klaim BP Tangguh soal CSR ialah pemberdayaan ekonomi masyarakat asli Bintuni lewat pendirian 4 Perusahaan berbendera Subitu,” ujar Pace Jas Merah itu.
Dia menyebut empat perusahaan berbendera Subitu itu adalah PT. Subitu Karya Busana (SKB), PT. Subitu Inti Konsultan (SIK), PT. Subitu Karya Teknik (SKT), dan 4) PT. Subitu Trans Maritim (STM).
“Berdasarkan hasil advokasi kami, diketahui bahwa dari sekian banyak program, program Subitu yang paling menonjol karena menyedot anggaran cukup besar, melibatkan banyak mitra kerja, (Unipa, Ikopin, Pupuk, Yayasan Satu Nama, Yayasan Matsushita),” ujarnya.
“Namun pada kenyataannya, untuk PT. SBK belum pernah ada audit menyeluruh, ada dugaan kerugian, dan perusahaan ini diduga non-feasible. Selanjutnya, PT. SKT bahkan diduga sudah tutup,” ujar Filep.