Soesilo Toer, Doktor Ekonomi Politik jadi Pemulung Sampah
Tak hanya di depan rumah warga, Soes juga mengais di depan mini market. Di sana, sampahnya lebih ramah. Kebanyakan botol air mineral dan kaleng. Tidak ada makanan basi. Soes kelihatan lebih cekatan mengambil apa saja yang dianggap bernilai. Wartawan koran ini yang turut mulung merasa lebih enteng.
Setelah mengorek sampah di tiga jalan, Soes pamit pulang. Saat itu pukul 20.05. Berarti telah satu jam sejak dia berangkat. Tampak keranjangnya sudah penuh. Berkali-kali dia merapikannya.
”Tunggu di sini. Saya balik ke rumah dulu. Soalnya sudah penuh. Nanti saya kembali lagi,” ujarnya sambil menunjuk keranjang.
Pada putaran kedua, Soes menuju Pasar Pitik. Di sana dia makin keras mengais tumpukan sampah. Meski demikian, tak banyak yang didapat. Dia tidak putus asa. Dia terus membuka satu per satu plastik pembungkus sampah. Aromanya, hmm... jangan ditanya. Betul-betul busuk.
Wajah Soes yang sebagian tertutup helm baru kelihatan agak berbinar ketika melihat sebuah lampu. Entah masih hidup atau sudah mati. Lampu ini berbentuk huruf O berwarna putih. Terbungkus kertas dan plastik.
Bulatannya sedikit lebih besar dibanding piring makan. Wartawan Radar Kudus meraih dan menyodorkan kepada Soes. Dia amati sejenak lantas memasukkanya ke kantong.
Masih di lokasi yang sama, Soes belum mau beranjak. Dia terus mengaduk-aduk bak sampah. Meraba kantong-kantong plastik berwarna hitam. ”Tahu isinya apa?” tanya Soes. ”Tidak,” jawab wartawan ini.
Lelaki bercambang putih itu, terus merogohkan tangannya ke kantong plastik. ”Hanya dengan meraba, saya bisa mengetahui isinya,” katanya. ”Semua butuh proses dan pengalaman. Tidak bisa instan,” tambahnya.