Tahun 2022: Kick Off Kebangkitan Alam untuk Indonesia Raya dan Dunia
Oleh: Komarudin Watubun, SH, MH, (anggota DPR RI 2019-2024)Namun, bagaimana membangun ekosistem digital versi Metaverse tanpa risiko-risiko dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Inheren dalam teknologi sos-med akhir-akhir ini ialah sulit filter penularan sifat patologis manusia, misalnya berbohong, hoaks, disinformasi, dan sejenisnya melalui sosmed.
Selain itu, jenis-jenis teknologi semacam ini, memiliki gen-inheren lain yakni ‘monopoli’ dan ‘otoriter’; sebab berada di bawah kendali filosofi dan ideologi segelintir elit-industri teknologinya. (Zuo/Xinhua, 2021)
Data lain, kinerja ekonomi Facebook misalnya melorot pada masa pandemic Covid-19. Maka Facebook melalui Metaverse berupaya melahirkan generasi baru Internet menjadi ekosistem 3D. Ini alasan bisnis. Simon Torkington (2021) mencatat bahwa Metaverse menjadi populer usai Mark Zuckerberg ubah branding dan sektor usaha Facebook dari social-media ke jasa teknologi virtual reality (VR) dan Augmented Reality (AR) sehingga pengguna dapat berinteraksi-penuh di ruang-siber (cyber-space). (Joori Roh dkk, 2021).
Fantasi dan istilah Metaverse lahir dari fiksi sains, khususnya novel fiksi sains Snow Crash karya Neal Stephenson (1992). Namun, tata-dunia saat ini, menurut Zoe Wienberg (2021) dalam The New York Times (2/12/2021), belum siap untuk era fantasi Metaverse dengan karakter-karakter berbasis digital avater mirip video game.
Metaverse melahirkan ilusi bahwa pengalaman di alam-digital seakan-akan nyata, aktif, dan ‘hidup’. Jadi, di satu sisi, ekosistem ala Metaverse bisa saja melahirkan revolusi cara-kerja dan industri hiburan, namun masih sangat berisiko bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Alasannya, antara lain, lingkungan virtual sulit menyaring disinformasi, spionase, dan surveilens. Kendali infrastuktur fisik Metaverse mungkin melahirkan konflik lintas batas-negara.
Batas-batas riil tiap negara-bangsa menjadi kurang relevan. Sebab Metaverse adalah supranasional. Ini tentu mengubah pola pikir dan pola hubungan antar negara-bangsa. Risiko ini harus diantisipasi pada level global dan negara-bangsa; khususnya, jika ekosistem virtual-digital akhirnya mengendalikan cara-kerja, pola-pikir, dan gaya-hidup warga-negara.
Kini ilusi, imajinasi, dan kreasi Metaverse hadir di mana-mana. Ada pesona konser virtual menarik-minat audiens. Desainer papan atas dunia menjual feisyen virtual; gaming seolah-olah menjadi suatu ‘kehidupan ke-2’ (second-life) bagi banyak orang di berbagai negara.