Fahri: Instruksi Mendagri tak Dapat Dijadikan Dasar Hukum Memberhentikan Gubernur
"Khususnya UU RI No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU RI No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular; dan serta berbagai peraturan derifatif dari UU tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah kurang proporsional serta cenderung eksesif," katanya.
Fahri mengatakan, ada semacam surplus kebijakan yang pada akhirnya instruksi tersebut sulit dan tidak dapat dieksekusi karena tidak sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri.
Menurutnya, jika dilihat dari hukum tata negara, proses pengisian kepala daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi dengan mengedepankan prinsip daulat rakyat.
Dengan begitu, lanjut Fahri, secara teoritis, proses pemberhentian kepala daerah tentunya melalui mekanisme yang melibatkan rakyat yaitu lembaga perwakilan (DPRD).
Secara khusus prosedur pemberhentian kepala daerah telah diatur sedemikian rupa dalam UU RI No. 23 Tahun 2014 khususnya ketentuan norma pasal 79 sampai dengan pasal 82 terkait Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Secara teknis yuridis, konstruksi pranata pemakzulan kepala daerah, yaitu melalui pintu DPRD setempat dan kemudian diajukan kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD apakah kepala daerah atau wakil kepela daerah dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban.
"Atau MA memeriksa dugaan pelanggarannya menurut hukum," kata Fahri.
Ia menegaskan, secara konstitusional tindakan pemberhentian kepala daerah hanya dapat dilakukan dengan alasan hukum berdasarkan putusan Mahkamah Agung.