Kebat Kliwat
Oleh: Dhimam Abror DjuraidApakah teman itu akan terlambat juga, atau apakah lalu lintas bisa dirapikan dan dilancarkan dengan bantuan teknologi yang canggih?
Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong Friedman meriset sejarah perkembangan teknologi yang sudah ia akrabi sebagai wartawan dan kolomnis.
Friedman kemudian mewawancarai ratusan konsultan, penemu teknologi, hingga CEO perusahaan-perusahaan besar yang menginvasi pasar.
Maka, alih-alih kesal kepada sang teman yang terlambat ia justru berterima kasih kepadanya. Seandainya si teman ini tepat waktu, karena mesin dan robot memudahkan perjalanannya, Friedman tak akan punya waktu memikirkan tentang kedigdayaan superkomputer dan mengingatkan kepada dunia terhadap manfaat dan ancamannya.
Terlambat itu jadi baik, dalam hal Thomas Friedman. Ia jadi punya waktu merenungkan ihwal yang terjadi sekelilingnya. Ia menganjurkan agar kita berani terlambat, eksit dari pertarungan, agar kita bisa menata kembali ladang-ladang yang terpengaruh oleh percepatan teknologi itu: politik, komunitas, cara kerja manusia, hingga urusan geopolitik dunia.
Ibarat permainan sepak bola, kalau terbiasa menjadi pemain maka tidak bisa merasakan bagaimana menjadi penonton. Karena itu, dengan sejenak menjadi penonton, bisa lebih arif karena punya jarak dari pertandingan.
Perlu waktu untuk berjenak dan menempatkan diri sebagai penonton, sebagai rakyat, untuk menghayati dan merasakan hidup mereka. Sebagai pemain, tentu ingin selalu menang dan mencetak gol sebanyak mungkin dan secepat mungkin.
Friedman mengingatkan bahwa di tengah akselerasi teknologi yang supercepat itu, butuh waktu untuk melambat dan memberi kesempatan kepada nurani untuk berpikir dan merenung.