Partai Ummat & Politik Identitas demi Martabat
Oleh Dhimam Abror Djuraid"Anda ingin saya mencari nafkah dengan cara bagaimana?" teriak Bouazizi ketika api sudah melalap seluruh tubuhnya.
Gambar Bouazizi yang terbakar menyebar ke seluruh negeri dan memicu demonstrasi dan kerusuhan luas. Tidak sampai sebulan Zein Al Abidine bin Ali, pemimpin otoriter Tunisia, mengundurkan diri.
Aksi Bouazizi kemudian memicu gerakan luas di banyak negara Timur Tengah dan melahirkan gerakan The Arab Spring atau Musim Semi Arab yang menjatuhkan banyak pemerintahan diktatorial di Mesir, Libia, dan Syria. Tindakan nekat Bouazizi dilakukan untuk menegaskan martabat dan identitasnya.
Fukuyama menyebut sumber identitas sebagai ‘thymos’, yaitu bagian dari jiwa yang membutuhkan pengakuan dan martabat. Thymos mempunyai dua bentuk, yaitu "isothymia", tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain, dan ‘megalothymia’ atau keinginan untuk diakui sebagai golongan yang lebih unggul.
Menurut Fukuyama, dua keinginan yang terkesan berlawanan itu bisa saja berjalan seiring. Misalnya, seorang pemimpin yang ingin tampil di depan dan diakui kekuasaannya secara mutlak (megalothymia) menggerakkan pengikutnya dengan memainkan sentimen berdasarkan kebencian dan perasaan tidak dihargai dari kelompok tersebut (isothymia).
Hitler dan Nazi Jerman memainkan politik identitas perpaduan antara isothymia dan megalothymia. Hitler ingin ras Arya dihormati sebagai ras paling unggul dan pada saat yang sama memainkan politik kebencian terhadap ras Yahudi.
Donald Trump di Amerika Serikat merasa ras kulit putih Protestan adalah ras terbaik yang berhak menguasai Amerika. Karena itulah ras lain dari kulit hitam dan kulit berwarna harus menjadi warga negara kelas dua.
Perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok tertentu akan memicu tuntutan terhadap pemenuhan martabat dalam bentuk isothomya.