Susahnya Hadirkan Terdakwa Kasus SMAK Dago di Persidangan
Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) pun belum bisa memastikan terkait kasus ini. Melalui Kasubid Media Masa Kejagung RI, Agung, belum ada koordinasi pemberkasan antara JPU dengan Kejagung sampai hari ini.
"Bisa ditanyakan kepada mereka yang mengurus perkara," kata Agung.
Ketidakjelasan informasi terkait jadwal persidangan tersebut mengindikasikan adanya pihak-pihak yang dengan sengaja menyembunyikan kasus ini. Bahkan, rekam jejak persidangan terkait kasus ini juga tidak tercatat di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Bandung.
Seperti diketahui, sidang kasus pemalsuan akta notaris di PN Bandung sudah berlangsung 17 kali. Dalam perkara ini, Edward menjadi terdakwa bersama Maria Goretti Pattiwael dan Gustav Pattipeilohy.
Edward dan Maria selalu mangkir sidang dengan dalih sakit. JPU akhirnya melanjutkan sidang dengan hanya terdakwa Gustav yang duduk di kursi terdakwa.
Kasus yang menjerat Edward bermula pada 2011 ketika Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK) yang mengaku sebagai kelanjutan atau penerus dari Perkumpulan Belanda Het Christelijk Lyceum (HCL). Pada zaman penjajahan Belanda dulu, perkumpulan ini adalah pemilik lahan SMA Kristen Dago di Jalan Ir H Djuanda Nomor 93 Kota Bandung.
Setelah aset bekas Belanda dinasionalisasi, termasuk SMAK Dago, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Yayasan Badan Perguruan Sekolah Menengah Kristen Jawa Barat (BPSMK-JB) mengklaim telah membeli lahan dari negara secara resmi. Lahan SMAK Dago ditempati sejak 1952 hingga sekarang.
Yayasan lalu mengajukan permohonan sertifikat tanah atas lahan itu. Sertifikat tanah pun terbit atas nama Yayasan. PLK lalu mengajukan gugatan pembatalan sertifikat tanah atas nama Yayasan BPSMK-JB ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.