Jilbab, Najwa Shihab, dan Ide Socrates
Oleh Dhimam Abror DjuraidNamun, dalam soal jilbab, tiga tokoh itu senasib dan sepenanggungan, sama-sama mendapatkan serangan pribadi. Ketiga tokoh itu punya pandangan yang kurang lebih sama dalam soal jilbab.
Mereka lebih melihatnya sebagai bagian dari budaya ketimbang syariah. Ketiganya juga melihat tidak ada perintah yang tegas mengenai kewajiban berjilbab dan lebih melihat faktor decency, kepantasan dalam berpakaian.
Oleh karena itu, Najwa Shihab tidak pakai kerudung, Prof. Shihab santai saja. Mbak Omie dan Nadia tampil polos tanpa jilbab, Cak Nur tenang-tenang saja, dan ketika Bu Sinta, Mbak Yenny dan adik-adiknya hanya menyampirkan kerudung di kepala Gus Dur ketawa-ketawa saja. Gitu saja kok repot.
Namun, tentu saja, urusannya tidak sesederhana itu. Urusan jilbab menjadi kontroversi serius sepanjang sejarah Indonesia sejak Orde Baru sampai sekarang. Debat jilbab menjadi simbol pertarungan antara sekularisasi dan formalisasi agama di Indonesia sampai sekarang.
Jumat (7/5) kemarin Mahkamah Agung membatalkan SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri mengenai aturan seragam sekolah. SKB itu tidak membolehkan sekolah milik pemerintah mewajibkan jilbab sebagai seragam bagi para murid.
SKB itu memantik kembali perdebatan mengenai jilbab. Pencabutan SKB itu oleh MA dianggap sebagai sebuah kemenangan oleh para pendukung Islam formal.
Tes wawasan kebangsaan untuk karyawan perempuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencantumkan satu pertanyaan apakah bersedia melepas jilbab. Seolah dengan pertanyaan itu wawasan kebangsaan seseorang akan bisa diketahui.
Jilbab adalah sebuah identitas. Dengan berjilbab seorang wanita muslimah bisa mengidentifikasikan dirinya dari wanita lain yang bukan muslimah.