Jilbab, Najwa Shihab, dan Ide Socrates
Oleh Dhimam Abror DjuraidSampai sekarang 'd.l.l.' itu tetap menjadi dll yang belum tuntas, dan tujuh kata yang hilang itu hanya hilang dari atas kertas, tetapi tidak benar-benar hilang dari aspirasi poltik Islam dan menjadikannya sebagai dasar identitas. Ketika muncul pemicu kecil seperti SKB itu maka perdebatan muncul dan memanas lagi.
Ilmuwan Francis Fukuyama menegaskan bahwa politik identitas memperjuangkan tuntutan akan kehormatan sekaligus cerminan dari gerakan perlawanan terhadap ancaman dari luar.
Fukuyama menulis dalam “Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment” (2018) bahwa politik identitas ada dalam fitrah manusia sejak lahir. Manusia butuh kehormatannya diakui dan menentang upaya-upaya yang mengancam kehormatannya.
Dalam kasus Amerika, politik identitas menuntut kehormatan bagi orang kulit putih yang makin tersisih karena kedatangan imigran.
Di Inggris, politik identitas menuntut kehormatan nasional dipulihkan dan menentang ancaman kehormatan dari negara-negara Eropa lainnya.
Di Indonesia, politik identitas menuntut kehormatan Islam sebagai kekuatan mayoritas dan menentang upaya-upaya marginalisasi terhadap Islam.
Fukuyama mencatat bahwa inti politik identitas adalah tuntutan terhadap pengakuan (demand for recognition) yang memunculkan semangat nasionalisme yang kuat dan identitas budaya dan agama yang menonjol. Politik identitas menjadi fenomena abad ke-21 yang meluas di seluruh dunia.
Mengutip Socrates, Fukuyama menyebut bahwa secara naluriah manusia mempunyai sifat thymos, yaitu watak yang mencari pengakuan atas identitas untuk merasa bangga, dihargai, dan dihormati.