Konflik Hukum Kedudukan Putusan MK dan UU: Sebuah Ujian Kenegarawanan dalam Pembahasan RUU Pilkada
Oleh: DR. I Wayan Sudirta, SH, MH - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuanganjpnn.com - Polemik terjadi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang rencananya akan diketok palu pada 22 Agustus 2024 lalu.
Namun, hal ini mendapat protes keras dari berbagai kalangan masyarakat. Alhasil, masyarakat bereaksi, peringatan darurat menjadi viral, dan massa dari berbagai perwakilan melakukan demonstrasi besar-besaran di DPR yang selanjutnya berhasil menghentikan pengesahan RUU Pilkada.
Banyak pihak menilai bahwa pengesahan tersebut justru mendistorsi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang selama ini menjadi jalan untuk menjamin hak konstitusional.
Ada juga yang berpendapat bahwa RUU tersebut menjadi kontraproduktif dan merupakan cermin kesewenang-wenangan.
Perdebatan ilmiah kemudian muncul dalam penilaian tentang kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai sumber hukum atau dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Dapat dikatakan bahwa sebuah perdebatan atau konflik hukum terjadi dalam pembahasan RUU Pilkada karena salah satu pasalnya tidak sesuai dengan Putusan MK.
Lalu bagaimana sesungguhnya menyikapi hal ini? Benarkah diskresi atau kewenangan pembentuk undang-undang (dalam hal ini DPR dan Pemerintah) yang dijamin Konstitusi dapat mengatur berbeda dari Putusan MK, karena jaminan tersebut? Hal ini tentu membutuhkan kajian yuridis.
Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final dan mengikat. Hal itu berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK.